Friday, October 16, 2009

Tri Djoko Santoso, Wakil Presiden Direktur Panin Life

Dirikan Yayasan untuk Melindungi Industri Jasa Keuangan Indonesia

Bergelut di dunia keuangan selama puluhan tahun ternyata mampu mempengaruhi jiwa sosial seseorang. Tri Djoko Santoso adalah salah satunya. Bukan berupa materi yang disumbangkan oleh Tri. Ia justru menyumbangkan pemikiran-pemikirannya ke dalam yayasan yang diberi nama Financial Planning Standards Board (FPSB). Apa saja kegiatannya?

Mungkin untuk sebagian orang, hari Sabtu merupakan hari libur. Tapi tidak untuk ekskutif yang satu ini. Hari Sabtu adalah hari bagi Tri Djoko Santoso untuk mencurahkan semua pemikiran dan jiwa sosial ke dalam yayasan non profit. Terbukti ketika hari Sabtu (17/2) yang lalu, Tri-panggilan akrabnya-tengah sibuk dengan pekerjaannya di yayasan. Di dalam ruangan kantor yang tidak begitu besar itulah Tri beserta dua orang karyawannya mengelola Financial Planning Standards Board. Di dalam ruang kerjanya, Tri terlihat ramah menyambut kedatangan Realita. Sembari tersenyum, ia mempersilahkan Realita untuk masuk ke dalam ruang kerjanya tersebut. Di dalam ruangan yang hanya berukuran 2 x 3 meter itulah, ia dengan bersemangat menceritakan tentang yayasan yang diketuainya saat ini.

Fasilitator Pendidikan Luar Negeri. Dunia keuangan khususnya asuransi memang tak pernah lepas dari pria berkumis ini. Karirnya sendiri memang berawal di dunia asuransi. Puluhan tahun telah ia jalani di dunia tersebut. Alhasil, Tri telah akrab dengan dunia keuangan. Jiwa sosial yang dimilikinya pun dituangkan ke dalam dunia yang membesarkan namanya. Bermula dari rasa ketakutan terhadap datangnya para pemain-pemain asing di dunia jasa keuangan Indonesia, Tri kemudian berusaha untuk meningkatkan daya saing dari para pelaku keuangan lokal agar mereka tidak mudah disingkirkan oleh para pemain asing. Salah satu usahanya adalah dengan membangun yayasan sosial di Indonesia yang mampu memfasilitasi para pemain di dunia keuangan dalam negeri agar dapat bersaing dengan pemain-pemain asing. Menurut Tri, tak ada cara lain selain meningkatkan kompetensi dari setiap pemain jasa keuangan lokal. Atas dasar itulah, Tri bekerjasama dengan pihak luar negeri untuk mendirikan Financial Planning Standards Board (FPSB) di Indonesia.

FPSB sendiri merupakan yayasan non profit yang didirikan untuk memfasilitasi para pelaku di dunia jasa keuangan agar dapat memperoleh sertifikasi internasional serta mendapatkan gelar yang berlaku secara internasional pula. “Para pelaku jasa keuangan, seperti agen asuransi, penjual reksadana, karyawan bank, penasehat pajak, akan semakin lama terancam pekerjaannya dengan kedatangan orang asing,” tutur Tri. Melihat kondisi tersebut, Tri tergoyah hatinya untuk melindungi para pelaku jasa keuangan lokal. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kompetensi dari para pelaku jasa keuangan lokal agar sesuai dengan standar internasional. Dengan begitu, banyaknya para pelaku jasa keuangan asing yang berdatangan ke Indonesia dapat dibendung dengan kehadiran pelaku jasa keuangan lokal yang kompeten. “Di yayasan ini, kita berusaha bagaimana mengupayakan teman-teman di jasa keuangan dapat ditingkatkan kompetensinya,” ujar Tri. Seiring dengan kompetensi yang ada pada setiap pelaku jasa keuangan lokal, maka Tri beserta pengurus yayasan berharap para pelaku jasa keuangan tersebut dapat memberikan pelayanan yang bertanggungjawab kepada nasabah-nasabahnya. Sehingga pada akhirnya industri jasa keuangan Indonesia akan maju karena didorong oleh para pelaku jasa keuangan yang berkualitas dan berkompeten.

Inisiator Berdirinya Yayasan. Pelaku jasa keuangan yang berkualitas dan kompeten, seperti yang diakui Tri, merupakan pelaku jasa keuangan yang memiliki sertifikasi di dunia global. Sehingga mereka tidak hanya diakui di dalam negeri saja, tetapi juga di luar negeri. “Saya menginginkan para pelaku kita dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan para pelaku jasa keuangan asing,” harap Tri. Sejak tahun 2000, Tri memimpin yayasan FPSB ini. Mendirikan yayasan ini pun bukanlah hal yang mudah bagi Tri. Awalnya, keterbatasan modal menjadi faktor penghambat utama yang dihadapi oleh Tri. Beruntung bagi dirinya, ia mampu menggerakkan rekan-rekan bisnisnya untuk membantu mewujudkan yayasan tersebut. “Saya waktu itu sebagai inisiator,” ungkap Tri. Dengan keinginan dan kegigihan Tri beserta rekan-rekannya, mereka akhirnya mampu memperoleh ijin untuk mendirikan FPSB di Indonesia sejak tahun 2000.

Sejak 7 tahun yang lalu itulah, Tri mencanangkan beberapa program yang akan diterapkan di dalam yayasan. Program-program tersebut berupa program pendidikan yang diadakan oleh yayasan beserta 8 universitas di Indonesia. Program pendidikannya sendiri diadakan selama 2 tahun yang kemudian dilanjutkan dengan ujian bagi para anggotanya. “Yang pasti, para pelaku jasa keuangan yang ingin mendapatkan sertifikat CFP (Ceritified Financial Planner-Red) ini harus mengikuti ujian standar internasional,” ujar Tri. Sertifikat yang mereka dapatkan, seperti yang diakui Tri, berlaku secara internasional dan diakui di banyak Negara.

FPSB sendiri dalam proses pendidikan tersebut berperan sebagai fasilitator bagi para anggotanya. “Kami hanya bertugas sebagai jembatan bagi para pelaku jasa keuangan yang ingin mendapatkan sertifikasi berstandar internasional,” tutur Tri. FPSB merupakan suatu bentuk yayasan non profit yang berasal dari Denver, Amerika Serikat yang berhasil digandeng oleh Tri Djoko. Kurikulum pendidikan di Indonesia telah disesuaikan dengan kurikulum di Negara asalnya, AS. Bila sebelum FPSB didirikan di Indonesia, para pelaku jasa keuangan yang ingin mendapatkan gelar CFP harus pergi ke luar negeri, maka dengan kehadiran FPSB Indonesia, mereka tak perlu lagi untuk pergi ke luar negeri dan menghabiskan ratusan juta untuk mendapatkan gelar CFP. Mereka cukup mendaftar pada salah satu universitas dari 8 universitas di seluruh Indonesia, untuk mengikuti program pendidikan perencanaan keuangan. Diakui Tri, para pelaku jasa keuangan tersebut memang harus membayar biaya pendidikan yang diadakan oleh pihak universitas. “Total biaya yang hanya mereka keluarkan berkisar Rp 15-17 juta selama 2 tahun pendidikan,” ungkap ayah dua anak ini. Diakuinya pula, uang tersebut hanya digunakan untuk membiayai pendidikan di universitas dan bukan untuk pihak yayasan. Setelah mengikuti pendidikan selama 2 tahun, para calon pemilik gelar CFP ini diharuskan mengikuti ujian berstandar internasional. Barulah, setelah mereka mampu lulus dari ujian yang diselenggarakan oleh pihak yayasan, mereka berhak mendapatkan glar CFP di belakang nama mereka sendiri.

Dengan adanya FPSB, para pelaku jasa keuangan di Indonesia menjadi dipermudah untuk meningkatkan kompetensi di dunia global. Tri berharap sekitar 300 hingga 350 anggota dapat mengikuti program pendidikan perencanaan keuangan pada tahun ini. Pihak yayasan pun tidak serta merta menerima semua calon anggota yang akan mendaftar. Ada kriteria yang harus dipenuhi oleh para calon anggota tersebut. “Mereka harus lulus sarjana S1, dan mereka telah berkarir di bidang jasa keuangan minimal 3 tahun,” ungkap Tri. Segala macam bentuk program pendidikan dan ujian telah disesuaikan dengan standar internasional. Dengan begitu, lulusan yang telah memiliki gelar CFP tidak akan kalah bersaing dengan lulusan dari luar negeri.

Antara Pekerjaan, Yayasan, dan Keluarga. Tri memang sangat bersemangat ketika menceritakan tentang kegiatannya di FPSB. Bagi dirinya, pemikiran-pemikiran yang dituangkan di dalam yayasan merupakan suatu bentuk jiwa sosial untuk membantu para pelaku jasa keuangan meningkatkan kinerja mereka. Tri sendiri memang kini masih menjabat sebagai wakil presiden direktur Panin Life. “Kalau Senin sampai Jumat, saya mencurahkan waktu untuk Panin,” ujar Tri. “Hari Sabtu, saya ada di kantor ini (kantor FPSB-Red),” lanjutnya. Meski banyak waktu yang ia habiskan untuk pekerjaan dan jiwa sosialnya, tak dinyana Tri juga masih punya banyak waktu untuk keluarga. Diakui Tri, hari Minggu adalah hari yang biasanya dipakai untuk menghabiskan waktu bersama dengan keluarga. Tak heran, ketika Realita mengunjungi kantor yayasan yang diketuainya tersebut, istri dan anak keduanya juga turut membantu aktivitas yayasan. “Sekalian waktu untuk yayasan dan keluarga,” ujar Tri sembari tersenyum lebar.

Karir Tri memang berawal dari dunia asuransi. “Saya dulu memulai karir sebagai agen asuransi door to door,” kenang Tri. Setelah merasakan menjadi pegawai rendahan di jasa asuransi, Tri Djoko juga sempat menjabat salah satu pimpinan di Prudential. Karirnya semakin menanjak hingga kini ia menjadi orang nomor dua di Panin Life. Salah satu cara dirinya untuk mensyukuri apa yang telah didapat adalah dengan menyumbangkan pemikiran-pemikiran di dunia jasa keuangan. Terbukti dengan cukup banyaknya buku yang ia tulis sebagai panduan bagi agen-agen asuransi. Jiwa sosialnya berupa sumbangan pemikiran-pemikiran juga ia ajarkan kepada kedua anaknya, Nada (21) dan Insan (17). Kedua anaknya tersebut kini lebih banyak tinggal di Australia untuk mengenyam pendidikan sarjananya. Nada mengambil studi multimedia di salah satu institut di negeri Kangguru tersebut. Sedangkan Insan mengambil studi Computer Engineering di Melbourne University, salah satu universitas terkemuka di Australia. “Anak lelaki saya, Insan, termasuk anak yang pintar, umurnya 17 tahun sudah masuk kuliah,” ujar Tri dengan bangganya. Ditinggal kedua anaknya untuk mengenyam bangku kuliah, membuat Tri hanya tinggal bersama dengan sang istri. “Seperti bulan madu saja,” ungkap Tri sembari tertawa. Fajar

Side Bar 1

Saya tidak menerima gaji di sini”

ketulusan hati Tri Djoko Santoso memang terlihat dari banyaknya waktu dan pikiran yang ia curahkan bagi kepentingan yayasan FPSB. Meski Tri mengaku bahwa waktu yang ia berikan kepada yayasan hanyalah waktu di luar jam kerja di perusahaan tempatnya bekerja, Tri mampu mencurahkan cukup banyak waktu dan pikiran bagi yayasan. Bagi Tri, sumbangan waktu dan pikiran lebih bermakna ketimbang materi yang disumbangkan. Menurutnya juga, sumbangan materi dapat habis begitu saja terpakai. Lain halnya dengan pemikiran-pemikiran dan waktu yang dicurahkan untuk menyalurkan jiwa sosialnya di bidang jasa keuangan.

Selain waktu dan pemikiran-pemikiran yang cemerlang dari otaknya, Tri Djoko pun dengan relanya tidak diberi gaji oleh pihak yayasan sebagai tanda bukti keseriusan dari diri Tri Djoko. “Saya tidak menerima gaji di sini,” ungkap Tri. Terbukti bahwa Tri Djoko tidak mengharapkan imbalan dari pihak FPSB sebagai kompensasi bagi dirinya. Karena bagi Tri, kepuasan batin yang ia rasakan pada saat mencurahkan waktu dan pikiran pada FPSB lebih penting ketimbang materi. Wajar jika Tri memang tidak mendapatkan gaji sebagai imbalannya menjabat sebagai ketua FPSB. Karena Tri send

iri bekerja sukarela atas dasar rasa kekhawatiran dari dalam dirinya terhadap berdatangannya pemain-pemain jasa keuangan asing ke Indonesia. Sehingga posisi pemain-pemain lokal cukup terancam. Atas dasar itulah Tri menggandeng pihak luar negeri untuk dapat menyelenggarakan program pendidikan berstandar internasional guna mendapatkan gelar CFP di akhir pendidikan selama 2 tahun. Sebagai seorang eksekutif di Panin Life, Tri Djoko memang layak disebut sebagai filantropis, walaupun kegiatan yang dilakukannya bukanlah membantu masyarakat kurang mampu ataupun anak-anak yatim piatu seperti kebanyakan eksekutif lainnya. Ia hanya menyumbangkan pikiran demi berdirinya FPSB di Indonesia. Dengan begitu Tri Djoko berhasil menjadi inisiator program pendidikan perencanaan keuangan berstandar internasional di Indonesia. Yang pada akhirnya akan membantu para pemain jasa keuangan lokal serta nasabah dunia jasa keuangan Indonesia. “Saya tidak bisa membayangkan jika tidak ada yayasan seperti ini,” papar Tri Djoko. Fajar

Side Bar 2:

Indra Orchidia, Istri Tri Djoko Santoso

Mengikuti Jejak Suami dengan Mendirikan Lestari Nasanda

Ternyata jejak jiwa sosial yang dilakukan oleh sang suami, dapat juga menular kepada istrinya. Terbukti istri dari Tri Djoko sendiri yang mengalami hal tersebut. Belajar dari sang suami yang bergelut dengan yayasan non profit di FPSB, sang istri mengikuti jejaknya dengan mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama Lestari Nasanda. Yayasan yang diakuinya sebagai yayasan dalam skala kecil merupakan yayasan yang membantu masyarakat kurang beruntung dan anak-anak yatim piatu.

Sang istri tidak hanya bekerja sendirian. Ia bersama teman-temannya secara rutin menggalang dana guna membantu kesulitan yang dialami oleh kaum papa. Salah satu kegiatan yang kerap diadakan oleh Lestari Nasanda adalah khitanan massal. Khitanan ini diperuntukkan bagi anak-anak yatim piatu yang secara ekonomis tidak dapat membayar biaya khitan. Sehingga dengan adanya kegiatan khitanan massal ini, maka mereka akan sangat terbantu. Khitanan massal tanpa memungut biaya ini seringkali diadakan di daerah-daerah kumuh di sekitar Jakarta.

Dana yang digalang oleh Indra beserta rekan-rekannya berasal dari hasil patungan beberapa pengurus yayasan. Bahkan ia tak segan-segan untuk merogoh kantongnya sendiri hanya untuk membiayai kegiatan operasional yayasan. Kegiatan yang dijalani oleh sang istri ternyata didukung pula oleh Tri Djoko. Sebagai suami, Tri sangat mendukung apa yang dikerjakan oleh sang istri. Sifat pekerja keras yang ditunjukkan oleh Tri Djoko ternyata menjadi teladan bagi sang istri untuk mengikuti jejak sang suami untuk lebih banyak memberi. Yayasan Lestari Nasanda sendiri didirikan sejak tahun 2001 lalu. Yayasan ini merupakan hasil patungan dari Indra beserta rekan-rekannya di yayasan. “Kita sih membantu secara kecil-kecilan,” ujar mantan dosen ini sembari merendah. “Sifat pekerja keras dari Bapak membuat saya kagum kepada dirinya,” lanjutnya. Indra Berharap ke depannya, yayasan Lestari Nasanda dapat berkembang dan semakin maju sehingga jumlah kaum papa yang dibantu akan semakin bertambah jumlahnya. Fajar


Side Bar 3

Tanamkan Jiwa Entrepreuner Kepada Kedua Anaknya


Tak hanya jiwa sosial yang ia ajarkan kepada kedua anaknya saja. Akan tetapi jiwa wirausaha juga Tri tanamkan kepada kedua anaknya, Nada dan Insan. Ada alasan tersendiri mengapa Tri mengajarkan jiwa wirausaha kepada anak-anaknya tersebut. “Lapangan kerja akan semakin berkurang,” ujarnya tegas. Sehingga diakui Tri, di tahun-tahun mendatang jumlah pencari kerja juga akan semakin bertambah. Pada akhirnya, persaingan antara pencari kerja juga semakin ketat. Salah satu solusi untuk mencegahnya adalah dengan menanamkan jiwa wirausaha kepada Nada dan insan.

Dengan begitu, mereka dapat mengembangkan kemampuannya masing-masing dengan mendirikan usaha sendiri. Alhasil, mereka diharapkan dapat menghasilkan uang yang tidak sedikit di kemudian hari. Tak heran, kini Tri Djoko mengirim kedua anaknya untuk mengambil kuliah di luar negeri tepatnya di Australia. Diakui Tri Djoko, pendidikan di Australia diajarkan mengenai kewirausahaan pada semester awal pendidikannya. Sehingga para mahasiswanya diajarkan untuk dapat memulai usahanya sendiri. “Mereka dididik dari awal untuk tidak menjadi seorang karyawan,” tutur Tri Djoko.

Tak hanya itu, ada sesuatu yang berbeda dengan cara Tri Djoko mendidik kedua anaknya. Sedari Sekolah Dasar hingga bangku Sekolah menengah Pertama, kedua anaknya tersebut dimasukkan ke dalam sekolah Islam. “Mereka dimasukkan ke sekolah Islam yang radikal dari SD sampai SMP,” aku Tri. Sedangkan sejak SMU hingga bangku kuliah, Tri Djoko memasukkan kedua anaknya ke dalam sekolah umum. Dengan begitu, kedua anaknya mendapatkan pendidikan Islam yang paling mendasar ketika mereka beranjak dewasa. Setelah itu, mereka juga diajarkan pengetahuan umum di sekolah-sekolah biasa. “Saya kirim mereka ke luar negeri supaya mereka dapat mengenal dunia luar, sehingga mereka menjadi sosok muslim yang moderat,” tutur Tri Djoko. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pengalaman pribadi dari Tri Djoko sendiri yang memang berasal dari pasangan orang tua yang beda agama. Bahkan Tri Djoko sendiri sempat merasakan pendidikan di Sekolah katholik, padahal ia sendiri beragama islam. Oleh karena itu, ia menginginkan agar kedua anaknya menjadi muslim dan muslimah moderat yang memiliki banyak pengetahuan umum dari luar. Fajar



No comments: